konsep sabar dalam islam

Sabtu, 30 April 2011

Kesabaran dalam konsep islam bukanlah diam berpangku tangan dalam kebatilan, tapi meruntuhkan kekuatan batil dengan ketenangan, tentunya bukan dg emosi, tapi dengan perhitungan matang yg manfaatnya jauh lebih dahsyat dari sekedar marah dan mengamuk dengan senjata, tapi berdoa, dan doa adalah senjata para Nabi dan shiddiqien,
berbicara dengan nasihat lembut dan nasehat lembut adalah wasiat Allah pada para Rasul Nya swt,
dan dengan tangan, yaitu dengan harta, jabatan, siasat matang, surat, dan segala hal yg berupa perbuatan yg bermanfaat untuk melebur musuh tanpa peperangan,
demikianlah perjuangan Rasulullah saw, demikian hidup mereka tanpa menyerah selama hidupnya memerangi kebatilan, dan mereka adalah ksatria dan tidak pengecut,
bila musuh memerangi dengan harta maka mereka memeranginya dengan harta pula, bila mereka memeranginya dengan ucapan mereka memeranginya dengan ucapan pula, bila mereka memeranginya dengan senjata barulah mereka mengangkat senjata,
mereka tetap menang walau mati dalam peperangan, rumah rumah mereka adalah pengkaderan tentara sunnah, anak anak mereka adalah calon Jundullah dimasa mendatang, demikian keadaan mereka dari generasi ke generasi.
Sebagaimana firman Nya swt : “Dan Hamba hamba Arrahman, yg berjalan dimuka bumi dengan pelahan lahan (penuh rendah diri namun penuh ketenangan), bila mereka diajak bicara oleh orang orang bodoh maka mereka menjawab dengan sejahtera dan lemah lembut, merekalah yg melewati malam malamnya dengan bermalam bersama Allah dengan sujud dan qiyamullail” (QS Alfurqan 63)


Tinjauan Fiqih Pernikahan Dini

Prinsip dasar dalam Syariat Islam mengenai perbuatan-perbuatan seorang mukallaf, dirumuskan dalam kaidah syara’: Al ashlu fi al af’al at taqayyudu bi al hukmi asy syar’i. ‘Hukum asal dalam perbuatan-perbuatan (mukallaf) adalah terikat dengan hukum syara’ (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal. 19).
Jadi perbuatan seorang muslim pasti mempunyai status hukum syara’, tidak terlepas atau terbebas dari ketentuan hukum-hukum Allah, apa pun juga perbuatan itu. Maka dari itu, seorang muslim wajib mengetahui hukum syara’ akan suatu perbuatan, sebelum dia melakukan perbuatan itu, apakah perbuatan itu wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram. Jika dia tidak mengetahui hukumnya, wajib baginya bertanya kepada orang-orang yang berilmu. Firman Allah SWT :
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (TQS An Nahl : 43)
Dengan demikian, seorang muslim wajib mengetahui hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan itu berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari, atau akan segera dia laksanakan, hukumnya fardhu ‘ain untuk mempelajari dan mengetahui hukum-hukumnya.Misalnya seorang dokter, maka dia wajib ‘ain untuk mengetahui hukum pengobatan, definisi hidup atau mati, otopsi, dan sebagainya. Seorang pedagang, wajib ‘ain untuk mengetahui hukum jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, dan sebagainya. Seorang muslim yang akan menikah, wajib ‘ain baginya untuk mengetahui hukum-hukum seperti hukum khitbah, akad nikah, nafkah, hak-kewajiban suami isteri, thalaq, ruju’, dan sebaginya.
pernikahan islamiAdapun jika perbuatan itu tidak berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari, atau baru akan diamalkan di kemudian hari, hukumnya fardhu kifayah mengetahui hukum-hukumnya (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz II, hal. 5-6). Misalkan seorang muslim yang mempelajari hukum-hukum jihad untuk diamalkan pada suatu saat nanti (tidak segera), maka hukumnya adalah fardhu kifayah. Demikian pula muslim yang belum akan segera melaksanakan haji, fardhu kifayah baginya untuk mempelajari hukum-hukum seputar ibadah haji. Termasuk hukum fardhu kifayah, adalah menguasai ilmu-ilmu keislaman sampai pada tingkat ahli (expert), misalnya menjadi ahli tafsir, ahli hadits, ahli ijtihad (mujtahid) dan sebagainya (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz II, hal. 6).
Mempelajari hukum-hukum nikah hukumnya adalah fardhu bagi setiap muslim. Fardhu kifayah bagi mereka yang akan melaksanakannya di kemudian hari, dan fardhu ‘ain bagi yang akan bersegera melaksanakannya dalam waktu dekat.
Hukum Menikah dan Menikah Dini
Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub) sesuai firman Allah SWT :
“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) satu orang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (TQS An Nisaa` : 3)
Perintah untuk menikah dalam ayat di atas merupakan tuntutan untukmelakukan nikah (thalab al fi’il). Namun tuntutan tersebut tidak bersifat pasti/keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunnah, tidak wajib.
Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya wajib atau haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat terwujud kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syara’:
Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal. 36-37)
Dapat juga pernikahan menjadi haram, jika menjadi perantaraan kepada yang haram, seperti pernikahan untuk menyakiti isteri, atau pernikahan yang akan membahayakan agama isteri/suami. Kaidah syara’ menyatakan :
Al wasilah ila al haram muharramah
“Segala perantaraan kepada yang haram hukumya haram.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Muqaddimah Ad Dustur, hal. 86)
Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunnah (mandub). (Taqiyuddin an Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) (HSA Al Hamdani, 1989, Risalah Nikah, hal. 18)
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para pemuda” (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya saja seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub (sunnah).
Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut Ibrahim Anis et. al (1972) dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith hal. 470 adalah orang yang telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang yang dimaksud kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal ash shifat al mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat yang khusus/spesifik bagi seorang laki-laki (Ibid, hal. 332).
Hukum Yang Bertalian dengan Menikah Dini
Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari itu hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari kondisi khusus, seperti kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah.
Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam tinjaun fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal :
Pertama, kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa fardhu ain hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya.
Kedua, kesiapan materi/harta. Yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas kawin) (lihat QS An Nisaa` : 4) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al asasiyah) bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan (lihat QS Al Baqarah : 233, dan Ath Thalaq : 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak (bi al ma’ruf) yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain semisal isteri seseorang dalam sebuah masyarakat (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 174-175).
Ketiga, kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits anjuran menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’. Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberi tangguh selama satu tahun untuk berobat bagi seorang suami yang impoten (Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Ini menunjukkan keharusan kesiapan “fisik” ini sebelum menikah.
Ini adalah kesiapan menikah yang berlaku umum baik untuk yang menikah dini maupun yang tidak dini. Sedang hukum-hukum khusus untuk pernikahan dini dalam konteks pernikahan yang terjadi saat mahasiswa masih kuliah, adalah sebagai berikut :
Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Masih Dapat Menjaga Dirinya
Mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu kewajiban, yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah baginya, tidak wajib, selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada yang haram meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih didahulukan daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada menikah.
Jika tetap ingin menikah, maka hukumnya tetap sunnah, tidak wajib, namun dia dituntut untuk dapat menjalankan dua hukum tersebut (menuntut ilmu dan menikah) dalam waktu bersamaan secara baik, tidak mengabaikan salah satunya, disertai dengan keharusan memenuhi kesiapan menikah seperti diuraikan di atas, yakni kesiapan ilmu, harta, dan fisik.
Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Tidak Dapat Menjaga Dirinya
Sebagian mahasiswa mungkin tidak dapat menjaga dirinya, yaitu jika tidak segera menikah maka dia akan terjerumus kepada perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-benar dia tidak dapat menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan jalan menikah, maka hukum asal menikah yang sunnah telah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syariat :
Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.”
Hukum menikah yang telah menjadi wajib ini akan bertemu dengan kewajiban lainnya, yaitu menuntut ilmu, sebab kedua kewajiban ini harus dilakukan pada waktu yang sama. Jadi ini memang cukup berat dan sulit. Tapi apa boleh buat, kalau menikah wajib dilaksanakan mahasiswa pada saat kuliah, maka Syariat Islam pun tidak mencegahnya. Hanya saja, hal ini memerlukan keteguhan jiwa (tawakkal), manajemen waktu yang canggih, dan sekaligus mewajibkan mahasiswa tersebut memenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
Pertama, kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah), menuntut ilmu juga merupakan amanat dari orang tua yang wajib dilaksanakan. Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk selalu memelihara amanat dengan sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat adalah dosa dan ciri seorang munafik. Allah SWT berfirman :
“Dan (orang-orang beriman) adalah orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (TQS Al Mu`minun : 8)
Kedua, kewajiban yang berkaitan dengan kesiapan pernikahan nikah harus diwujudkan, khususnya kesiapan memberikah nafkah. Jika mahasiswa sudah bekerja sehingga mampu memberi nafkah kepada isterinya kelak secara patut dan layak, maka menikah saat kuliah tidak menjadi masalah. Namun perlu diingat, bekerja memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga yang tidak sedikit. Perhatikan betul manajemen waktu agar kuliah tidak ngelantur dan terbengkalai. Adapun jika mahasiswa sudah bekerja namun gajinya tidak mencukupi, atau tidak bekerja sama sekali karena tidak memungkinkankarena kesibukan kuliah, maka kewajiban nafkah berpindah kepada ayah mahasiswa. Sebab mahasiswa tersebut berada dalam keadaan tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman), maka dia wajib mendapat nafkah dari orang yang wajib menafkahinya, yaitu ayahnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 165). Syara’ telah mewajibkan seorang ayah menafkahi anaknya sesuai firman-Nya :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).” (TQS Al Baqarah : 233)
‘A`isyah meriwayatkan bahwa Hindun pernah berkata kepda Rasulullah,”Wahai Rasulullah, Abu Sufyan (suaminya) adalah seorang lelaki bakhil, dia tidak mencukupi nafkah untukku dan anakku, kecuali aku mengambil hartanya sedang dia tidak tahu.” Nabi SAW bersabda,”Ambillah apa yang mencukupi untukmu dan anakmu secara ma’ruf.” (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 166)
Sebenarnya nafkah ayah kepada anak (walad) hanya sampai anak itu baligh, atau sampai anak itu mampu mencari nafkah sendiri. Namun kalau anak itu tidak mampu secara nyata/fisik (‘ajiz fi’lan) seperti cacat, atau tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman) –walaupun sudah baligh atau sudah bekerja tapi tidak cukup— maka sang ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah. Jika ayah tidak mampu, maka kewajiban nafkah ini berpindah kepada kerabat-kerabat (al ‘aqarib) atau ahli waris (al warits) si lelaki (mahasiswa) sesuai firman-Nya :
“Dan warispun berkewajiban demikian (yaitu memberikan nafkah).” (TQS Al Baqarah : 233)
Ayat di atas merupakan kelanjutan (‘athaf) dari ayat :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).” (TQS Al Baqarah : 233)
Karenanya, jika ayah tidak mampu juga memberikan nafkah, maka kewajiban ini berpindah kepada kerabat atau ahli waris mahasiswa. Jika kerabat juga miskin atau tidak mampu, sebenarnya Syariat Islam tetap memberikan jalan keluar, yaitu nafkahnya menjadi tanggung jawab negara (Daulah Khilafah Islamiyah) sebab negara dalam Islam berkewajiban menanggung nafkah orang-orang miskin yang menjadi rakyatnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 172).
Kewajiban Menjaga Pergaulan Pria-Wanita Untuk Menjaga Kesucian Jiwa (‘Iffah)
Syariat Islam sebenarnya telah secara preventif menetapkan hukum-hukum yang jika dilaksanakan, kesucian jiwa dan akhlaq akan terjaga, dan para pemuda terhindar dari kemungkinan berbuat dosa, seperti pacaran dan zina. Berikut ini beberapa hukum tersebut :
1). Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki maupun wanita agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya, dengan firman Allah SWT :
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemauannya.” (TQS An-Nur:30-31)
2). Islam telah memerintahkan kaum laki-laki maupun kaum wanita agar menjauhi perkara-perkara yang syubhat, dan menganjurkan sikap hati-hati agar tidak tergelincir dalam perbuatan ma’siyat kepada Allah, serta menjauhkan diri dari pekerjaan, atau tempat apa pun tidak berbaur dengan kondisi dan situasi apapun yang di dalamnya terdapat syubhat, supaya mereka tidak terjerembab dalam perbuatan yang haram. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya yang halal telah jelas, begitu pula yang haram telah jelas; dan diantara dua perkara itu terdapat syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa berhati-hati dengan tindakan syubhat sesungguhnya ia telah menjaga agama dan dirinya, dan barang siapa yang melakukan tindakan syubhat, maka ia telah melakukan tindakan yang haram, sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan kembingnya di seputar pagar, kadang-kadang bisa jatuh melewati pagar itu. Ketahuilah sesungguhnya setiap penguasa memiliki pagar pembatas, dan sesungguhnya pagar (batas) Allah adalah apa yang diharamkannya.” (HR. Bukhari)
3). Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan pernikahan disebabkan oleh keadaan tertentu, hendaknya memiliki sifat ‘iffah, dan mampu mengendalikan nafsu. Allah SWT berfirman :
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah memberikan kepada mereka kemampuan dengan karunia-Nya.” (TQS. An Nur : 33)
4). Islam melarang kaum laki-laki dan wanita satu sama lain melakukan khalwat. Yang dimaksud dengan khalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan seorang pun untuk masuk tempat itu kecuali dengan izin kedua orang tadi, seperti misalnya berkumpul di rumah, atau tempat yang sunyi yang jauh dari jalan dan orang-orang. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah jangan melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahram, karena sesungguhnya yang ketiga itu adalah syaithan.”
5). Islam melarang kaum wanita melakukan tabarruj, sebagaimana firman Allah :
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haidh dan mengandung) yang tidak ingin kawin lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasannya (bertabarruj).” (TQS. An-Nur : 60)
6). Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian sempurna, yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya; dan hendaknya mereka mengulurkan pakaiannya sehingga mereka dapat menutupi tubuhnya. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimar) ke dadanya.” (TQS An Nuur: 31)
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (TQS Al Ahzab: 59)
7. Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali apabila disertai dengan mahramnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali bila disertai mahramnya.”
8. Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya jamaah kaum wanita terpisah (infishal) dari jamaah kaum pria, begitu juga di dalam masjid, di sekolah dan lain sebagainya. Islam telah menetapkan seorang wanita hendaknya hidup di tengah tengah kaum wanita, sama halnya dengan seorang pria hendaknya hidup di tengah tengah kaum pria. Islam menjadikan shaf shalat kaum wanita di bagian belakang dari shaf shalat kaum pria, dan menjadikan kehidupan wanita hanya bersama dengan para wanita atau mahram-mahramnya. Wanita dapat melakukan aktivitas yang bersifat umum seperti jual beli dan sebagainya, tetapi begitu selesai hendaknya segera kembali hidup bersama kaum wanita atau mahram-mahramnya.
9). Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan muamalah, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya, atau jalan jalan bersama. Sebab, tujuan kerjasama dalam hal ini agar wanita dapat segera mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, di samping untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.
Kesimpulan
Dari seluruh uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1. Pertama, Setiap muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam setiap perbuatannya, termasuk dalam hal menikah dini.
2. Kedua, Menikah dan juga menikah dini adalah sunnah.
3. Ketiga, Menikah dini sunnah bagi mahasiswa yang masih dapat mengendalikan diri.
4. Keempat, Menikah dini wajib bagi mahasiswa yang tidak dapat lagi mengendalikan diri.
5. Kelima, Menikah dini dalam dua keadaan tersebut mensyaratakan adanya kesiapan ilmu, harta (nafkah), dan fisik, di samping mensyaratkan tetap adanya kemampuan melaksanakan kewajiban kuliah (menuntut ilmu).
6. Keenam, Islam telah menetapkan hukum-hukum preventif agar para pemuda dan pemudi terhindar dari rangsangan dan godaan untuk berbuat maksiat.
[Muhammad Shiddiq Al Jawi]
* Disampaikan dalam Seminar Setengah Hari bertema “Pernikahan Dini”, di STTL YLH, Yogyakarta, Ahad, 23 September 2001


sukses menuju pelaminan (fiqih nikah )

Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki meutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama. Sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya, dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alas an ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah esmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah.
Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab,
“Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaran yang dilkaukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah.
Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka. Namun tujuanya untuk saling mengenal. Sebagaimana yan mereka istilahkan maka ini munkar, haram bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah berfirman:
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (QS. Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalmanya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).”
(Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)
Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:
-Wanita itu shalihah,
karena Nabi bersabda:
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunanya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu anita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.”
(HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah)
-Wanita itu subur rahimnya. Tentunya dapat diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah pernah bersabda:
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.”
(HR. An-Nasa’i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 1784)
-Wanita tersebut masih gadis yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.(namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah memperkenankan Jabir memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah)
Jabir bin Abdillah ketika memberitakan kepada Rasulullah bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau bersabda yang artinya:
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dan dia bisa mengajakmu bermain.”
Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan masih belia. Sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka. Rasulullah memujinya, “Benar, apa yang engkau lakukan.”
(HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)
“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar di mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.”
(HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 623)
2. Nazhor (melihat calon pasangan hidup)
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
“Wahai Rasulullah ! Au datang untuk mengibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkanpandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya.
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah menasihatinya:
“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah)
Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah meminang seorang wanita. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang engkau pinang tersebut ?” Belum,” jawab Al-Mughirah.
Rasulullah bersabda:
“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa’i no. 3235, At-Tirmidzi no. 1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Baghawi berkata, “Dalam sabda Rasulullah kepada Al-Mughirah: “Apa engkau telah melihat wanita yang engkau pinang tersebut ?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhor ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhor dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati.
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya,” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah ?” kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa=apa baginya melihat wanita tersebut.”
(HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah :
“Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
PERHATIAN !!!
Rukhshah ini HANYA KHUSUS bagi LELAKI yang telah berketetapan hati untuk meminang wanita tersebut. TIDAK DILAKUKAN TERHADAP SEMUA WANITA.
Adapun Al-Imam Malik dalam satu riwayat darinya mengatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si waita terarah kepada aurat.”
Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya.
(Al-Hawil KAbir 9/35, syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya Berduaan dan Bersepi-sepi tanpa Mahram ketika Nazhar
Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah ersabda:
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.”
(HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa’ fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang boleh ia mengutus seorang wanita yang terpercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnu Qaththan Al-FAsi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang Boleh Dilihat dari Seorang Wanita
Ketika nazhar, bleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya; seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah:
“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.”
(HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 99)
Di samping itu, dilihat dari adapt kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis. Karena mengamalkan hadits tersebut.
Demikian juga Muhammad bin Maslamah sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekedar wajah dan dua telapak tangan. Hal tersebut berdasar kisah Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab yang menyingkap dua betis Ummu Kultsum bintu Ali bin Abi Thalib yang hendak dinikahinya. Namun kisah tersebut adalah kisah yang dhaif (lemah). Sebab pada sanadnya terdapat irsal dan inqitha’. (Adh-Dha’ifah, bahasan hadits no.1273)
Al-Imam Ibnu Qudamah berkata, “sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan dimikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak plabagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya.
Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si waita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya. Sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)
Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhor ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullah sampai memiliki bebrapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Ketiga: boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat in idari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima: boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm da ndicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN
Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-NAwawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata. Yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada pun sau’atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, kami sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku-buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayni. Dan telah kami kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”
Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”
Ibnu Abdil Barr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)
Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang BUKAN merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita. Demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.
Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya. Demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin NAzhar hal. 392-393 & Fiqhun Nazhar hal. 77-78)
Al-Imam Al-Albani menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilkaukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya teah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangn itu diterima, maka haram baginya meminang waita tersebut. KArena Rasulullah pernah bersabda:
“Tidak bleh seorang meminang wanita yang telah dipinagn oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipingan oleh saudaranya hingga saudarnya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara ini merugikan peminang yan gpertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinagannya disebabkan si wanita lebih menukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di ntara sesame muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita,atau peminang pertama membatalkan pinagnanya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/252)
Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikah akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminagan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad, keduanya tetap ajnabi. Sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita. Kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i.
Lalu berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur’an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullah ?
Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)


belajar tajwid

Pengertian & Hukum
Pengertian Tajwid menurut bahasa (ethimologi) adalah: memperindah sesuatu.
Sedangkan menurut istilah, Ilmu Tajwid adalah pengetahuan tentang kaidah serta cara-cara membaca Al-Quran dengan sebaik-baiknya.
Tujuan ilmu tajwid adalah memelihara bacaan Al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca.
Belajar ilmu tajwid itu hukumnya fardlu kifayah, sedang membaca Al-Quran dengan baik (sesuai dengan ilmu tajwid) itu hukumnya Fardlu ‘Ain.
Dalil Wajib Mempraktekkan Tajwid Dalam Setiap Pembacaan Al-Qur’an:

  1. Dalil dari Al-Qur’an.Firman Allah s.w.t.:

    Artinya: Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan/tartil (bertajwid)
    [Q.S. Al-Muzzammil (73): 4]. Ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah s.w.t. memerintahkan Nabi s.a.w. untuk membaca Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dengan tartil, yaitu memperindah pengucapan setiap huruf-hurufnya (bertajwid).
    Firman Allah s.w.t. yang lain:

    Artinya: Dan Kami (Allah) telah bacakan (Al-Qur’an itu) kepada (Muhammad s.a.w.) secara tartil (bertajwid) [Q.S. Al-Furqaan (25): 32].
  2. Dalil dari As-Sunnah.Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a. (istri Nabi s.a.w.), ketika beliau ditanya tentang bagaiman bacaan dan sholat Rasulullah s.a.w., maka beliau menjawab:

    Artinya: “Ketahuilah bahwa Baginda s.a.w. sholat kemudian tidur yang lamanya sama seperti ketika beliau sholat tadi, kemudian Baginda kembali sholat yang lamanya sama seperti ketika beliau tidur tadi, kemudian tidur lagi yang lamanya sama seperti ketika beliau sholat tadi hingga menjelang shubuh. Kemudian dia (Ummu Salamah) mencontohkan cara bacaan Rasulullah s.a.w. dengan menunjukkan (satu) bacaan yang menjelaskan (ucapan) huruf-hurufnya satu persatu.” (Hadits 2847 Jamik At-Tirmizi) Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah Ibnu ‘Amr, Rasulullah s.a.w. bersabda:

    Artinya: “Ambillah bacaan Al-Qur’an dari empat orang, yaitu: Abdullah Ibnu Mas’ud, Salim, Mu’az bin Jabal dan Ubai bin Ka’ad.” (Hadits ke 4615 dari Sahih Al-Bukhari).
  3. Dalil dari Ijma’ Ulama.Telah sepakat para ulama sepanjang zaman sejak dari zaman Rasulullah s.a.w. sampai dengan sekarang dalam menyatakan bahwa membaca Al-Qur’an secara bertajwid adalah suatu yang fardhu dan wajib. Pengarang kitab Nihayah menyatakan: “Sesungguhnya telah ijma’ (sepakat) semua imam dari kalangan ulama yang dipercaya bahwa tajwid adalah suatu hal yang wajib sejak zaman Nabi s.a.w. sampai dengan sekarang dan tiada seorangpun yang mempertikaikan kewajiban ini.”

Tingkatan Bacaan
Terdapat 4 tingkatan atau mertabat bacaan Al Quran yaitu bacaan dari segi cepat atau perlahan:

  1. At-Tahqiq:
    Bacaannya seperti tartil cuma lebih lambat dan perlahan, seperti membetulkan bacaan huruf dari makhrajnya, menepatkan kadar bacaan mad dan dengung.Tingkatan bacaan tahqiq ini biasanya bagi mereka yang baru belajar membaca Al Quran supaya dapat melatih lidah menyebut huruf dan sifat huruf dengan tepat dan betul.
  2. Al-Hadar:
    Bacaan yang cepat serta memelihara hukum-hukum bacaan tajwid. Tingkatan bacaan hadar ini biasanya bagi mereka yang telah menghafal Al Quran, supaya mereka dapat mengulang bacaannya dalam waktu yang singkat.
  3. At-Tadwir:
    Bacaan yang pertengahan antara tingkatan bacaan tartil dan hadar, serta memelihara hukum-hukum tajwid.
  4. At-Tartil
    Bacaannya perlahan-lahan, tenang dan melafazkan setiap huruf dari makhrajnya secara tepat serta menurut hukum-hukum bacaan tajwid dengan sempurna, merenungkan maknanya, hukum dan pengajaran dari ayat.Tingkatan bacaan tartil ini biasanya bagi mereka yang sudah mengenal makhraj-makhraj huruf, sifat-sifat huruf dan hukum-hukum tajwid. Tingkatan bacaan ini adalah lebih baik dan lebih diutamakan.

Tanda Tanda Baris

  • Baris di atas (Fathah)
    Memberikan bunyi vokal ‘a’, contoh: (ba)




  • Baris di bawah (Kasrah)



  • Memberikan bunyi vocal ‘i’, contoh: (bi)




  • Baris di hadapan (Dhammah)



  • Memberikan bunyi vokal ‘u’, contoh: (bu)




  • Tanda mati (Sukun)



  • Tanda sukun di atas sebuah huruf berarti huruf itu mati, contoh: (ab)




  • Baris dua di atas (Fathatain)



  • Memberikan bunyi ‘an’, contoh: (ban).




  • Baris dua di bawah (Kasratain)



  • Memberikan bunyi ‘in’, contoh: (bin).




  • Baris dua di hadapan (Dhammatain)



  • Memberikan bunyi ‘un’, contoh: (bun).




  • Sabdu di atas (Syaddah Fathah)



  • Contoh: (abba).




  • Sabdu di bawah (Syaddah Kasrah)



  • Contoh: (abbi).




  • Sabdu di hadapan (Syaddah Dhammah)



  • Contoh: (abbu).




  • Sabdu dua di atas (Syaddah Fathatain)



  • Contoh: (abban).




  • Sabdu dua di bawah (Syaddah Kasratain)



  • Contoh: (abbin).




  • Sabdu dua di hadapan (Syaddah Dhammatain)



  • Contoh: (abbun).




  • Fathah-alif dibaca panjang 2 harakat (hitungan)



  • Contoh: (baa).




  • Kasrah-alif dibaca panjang 2 harakat (hitungan)



  • Contoh: (bii).




  • Dhammah terbalik dibaca panjang 2 harakat (hitungan)



  • Contoh: (buu).




  • Maddah dibaca panjang antara 3 sampai dengan 4 harakat (hitungan)



  • Contoh: (baaa)


  •  


    islamic

    Senin, 25 April 2011

    SEJARAH VALENTINE’S DAY
    The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine’s Day :
    “Some trace it to an ancient Roman festival called Lupercalia. Other experts connect the event with one or more saints of the early Christian church. Still others link it with an old English belief that birds choose their mates on February 14. Valentine’s Day probably came from a combination of all three of those sources–plus the belief that spring is a time for lovers.”
    Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama–nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.
    Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St.Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (lihat: The World Book Encyclopedia 1998).
    The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.
    Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.
    Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (lihat: The World Book Encyclopedia, 1998).
    Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St.Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britannica, Vol.12 hal.242 , The World Book Encyclopedia, 1998).
    Lalu bagaimana dengan ucapan “Be My Valentine?” Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) mengatakan kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut Syirik, artinya menyekutukan Allah Subhannahu wa Ta’ala. Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri!
    Saudaraku, itulah sejarah Valentine’s Day yang sebenarnya, yang seluruhnya tidak lain bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang”, lalu kenapa kita masih juga menyambut Hari Valentine? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Adat? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal muasalnya?. Bila demikian, sangat disayangkan banyak teman-teman kita remaja putra-putri Islam yang terkena penyakit ikut-ikutan mengekor budaya Barat dan acara ritual agama lain. Padahal Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertangggungjawabnya” (Al Isra’ : 36).
    HUKUM MERAYAKAN HARI VALENTINE
    Keinginan untuk ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan dan pemikirannya. Apalagi bila mengikuti dalam perkara akidah, ibadah, syi’ar dan kebiasaan. Padahal Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam: “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. At-Tirmidzi).
    Bila dalam merayakannya bermaksud untuk mengenang kembali Valentine maka tidak disangsikan lagi bahwa ia telah kafir. Adapun bila ia tidak bermaksud demikian maka ia telah melakukan suatu kemungkaran yang besar. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, “Selamat hari raya!” dan sejenisnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Banyak orang yang kurang mengerti agama terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut. Seperti orang yang memberi selamat kepada orang lain atas perbuatan maksiat, bid’ah atau kekufuran maka ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan dan kemurkaan Allah.”
    Abu Waqid Radhiallaahu anhu meriwayatkan: Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam saat keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah n berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath.” Maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, ‘Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.’ Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih).
    Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang Valentine’s Day mengatakan :
    “Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena: Pertama: ia merupakan hari raya bid‘ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari‘at Islam. Kedua: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya.
    Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.”
    Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.
    Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca,
    “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:6-7)
    Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela.
    Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya:
    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah:51)
    “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)
    Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya.
    Saudaraku! Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi: Perayaan ini adalah acara ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.
    Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.
    Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.
    Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan:
    “Kecintaan-Ku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, yang saling mengunjungi karena Aku dan yang saling berkorban karena Aku.” (Al-Hadits).


    Sejarah islam di negeri tirai bambu

    Tuntutlah Ilmu sampai ke negeri Cina," begitu kata petuah Arab. Jauh sebelum ajaran Islam diturunkan Allah SWT, bangsa Cina memang telah mencapai peradaban yang amat tinggi. Kala itu, masyarakat Negeri Tirai Bambu sudah menguasai beragam khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan peradaban.

    Tak bisa dipungkiri bahwa umat Islam juga banyak menyerap ilmu pengetahuan serta peradaban dari negeri ini. Beberapa contohnya antara lain, ilmu ketabiban, kertas, serta bubuk mesiu. Kehebatan dan tingginya peradaban masyarakat Cina ternyata sudah terdengar di negeri Arab sebelum tahun 500 M.

    Sejak itu, para saudagar dan pelaut dari Arab membina hubungan dagang dengan `Middle Kingdom' - julukan Cina.  

    Untuk bisa berkongsi dengan para saudagar Cina, para pelaut dan saudagar Arab dengan gagah berani mengarungi ganasnya samudera. Mereka `angkat layar' dari Basra di Teluk Arab dan kota Siraf di Teluk Persia menuju lautan Samudera Hindia.

    Sebelum sampai ke daratan Cina, para pelaut dan saudagar Arab melintasi Srilanka dan mengarahkan kapalnya ke Selat Malaka. Setelah itu, mereka berlego jangkar di pelabuhan Guangzhou atau orang Arab menyebutnya Khanfu. Guangzhou merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan tertua di Cina. Sejak itu banyak orang Arab yang menetap di Cina.

    Ketika Islam sudah berkembang dan Rasulullah SAW mendirikan pemerintahan di Madinah, di seberang lautan Cina tengah memasuki periode penyatuan dan pertahanan. Menurut catatan sejarah awal Cina, masyarakat Tiongkok pun sudah mengetahui adanya agama Islam di Timur Tengah. Mereka menyebut pemerintahan Rasulullah SAW sebagai Al-Madinah.

    The Great Mosque of Xi'an, one of China's oldest mosques
    Orang Cina mengenal Islam dengan sebutan Yisilan Jiao yang berarti 'agama yang murni'. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran 'Buddha Ma-hia-wu' (Nabi Muhammad SAW). Terdapat beberapa versi hikayat tentang awal mula Islam bersemi di dataran Cina. Versi pertama menyebutkan, ajaran Isla.pertama kali tiba di Cina dibawa para sahabat Rasul yang hijrah ke al-Habasha Abyssinia (Ethopia). Sahabat Nabi hijrah ke Ethopia untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraish jahiliyah. Mereka antara lain; Ruqayyah, anak perempuan Nabi; Usman bin Affan, suami Ruqayyah; Sa'ad bin Abi Waqqas, paman Rasulullah SAW; dan sejumlah sahabat lainnya.

    Para sahabat yang hijrah ke Etopia itu mendapat perlindungan dari Raja Atsmaha Negus di kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke tanah Arab. Konon, mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada saat Dinasti Sui berkuasa (581 M - 618 M).

    Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina ketika Sa'ad Abi Waqqas dan tiga sahabatnya berlayar ke Cina dari Ethopia pada tahun 616 M. Setelah sampai di Cina, Sa'ad kembali ke Arab dan 21 tahun kemudian kembali lagi ke Guangzhou membawa kitab suci Alquran.

    Ada pula yang menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina pada 615 M - kurang lebih 20 tahun setelah Rasulullah SAW tutup usia. Adalah Khalifah Utsman bin Affan yang menugaskan Sa'ad bin Abi Waqqas untuk membawa ajaran Illahi ke daratan Cina. Konon, Sa'ad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M. Kuburannya dikenal sebagai Geys' Mazars.

    Utusan khalifah itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Kaisar pun lalu memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng atau masjid Memorial di Canton - masjid pertama yang berdiri di daratan Cina. Ketika Dinasti Tang berkuasa, Cina tengah mencapai masa keemasan dan menjadi kosmopolitan budaya. Sehingga, dengan mudah ajaran Islam tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok.

    Id Khar Mosque
    Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di Cina adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang Cina yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Sejak saat itu, pemeluk Islam di Cina kian bertambah banyak. Ketika Dinasti Song bertahta, umat Muslim telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara konsisten dijabat orang Muslim.

    Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara untuk tinggal di Cina. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara Cina dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang Bukhara itu lalu menetap di di antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias 'So-Fei Er'. Dia bergelar `bapak' komunitas Muslim di Cina.

    Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di Cina semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di Cina, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi Cina Han. Sehingga pengaruh umat Islam di Cina semakin kuat. Ratusan ribu imigran Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran.

    Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq.

    Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal Muslim terkemuka, termasuk Lan Yu Who. Pada 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Tak lama setelah itu muncul Laksamana Cheng Ho - seorang pelaut Muslim andal.

    Saat Dinasti Ming berkuasa, imigran dari negara-negara Muslim mulai dilarang dan dibatasi. Cina pun berubah menjadi negara yang mengisolasi diri. Muslim di Cina pun mulai menggunakan dialek bahasa Cina. Arsitektur Masjid pun mulai mengikuti tradisi Cina. Pada era ini Nanjing menjadi pusat studi Islam yang penting. Setelah itu hubungan penguasa Cina dengan Islam mulai memburuk.

    Masa Surut Islam di Daratan Cina

    The Niujie Mosque in Beijing
    Hubungan antara Muslim dengan penguasa Cina mulai memburuk sejak Dinasti Qing (1644-1911) berkuasa. Tak cuma dengan penguasa, relasi Muslim dengan masyarakat Cina lainnya menjadi makin sulit. Dinasti Qing melarang berbagai kegiatan Keislaman.

    Menyembelih hewan qurban pada setiap Idul Adha dilarang. Umat Islam tak boleh lagi membangun masjid. Bahkan, penguasa dari Dinasti Qing juga tak membolehkan umat Islam menunaikan rukun Islam kelima - menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah.

    Taktik adu domba pun diterapkan penguasa untuk memecah belah umat Islam yang terdiri dari bangsa Han, Tibet dan Mogol. Akibatnya ketiga suku penganut Islam itu saling bermusuhan. Tindakan represif Dinasti Qing itu memicu pemberontakan Panthay yang terjadi di provinsi Yunan dari 1855 M hingga 1873 M.

    Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Sun Yat Sen akhirnya mendirikan Republik Cina. Rakyat Han, Hui (Muslim), Meng (Mongol) dan Tsang (Tibet) berada di bawah Republik Cina. Pada 1911, Provinsi Qinhai, Gansu dan Ningxia berada dalam kekuasaan Muslim yakni keluarga Ma.

    Kondisi umat Islam di Cina makin memburuk ketika terjadi Revolusi Budaya. Pemerintah mulai mengendorkan kebijakannya kepada Muslim pada 1978. Kini Islam kembali menggeliat di Cina. Hal itu ditandai dengan banyaknya masjid serta aktivitas Muslim antaretnis di Cina.


    Sejarah islam di indonesia

    Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
    Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
    Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
    Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
    Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
    Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi’i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).


    Apakah istihadhah itu?

    Kebanyakan para Ladies tidak tahu apa itu istihadah?? Berikut penjelasan tentang istihadhah.
    Pengertian ishtihadhah.

    Ishtihadhah adalah darah yang mengalir dari ujung bawah rahim bukan pada waktu haid atau nifas karena sakit atau rusak (fasad). Setiap pendarahan bagi wanita sebelum waktu haid, yaitu umur 9 tahun, atau kurang dari batas minimum waktu haid, atau lebih dari bats maksimum waktu haid, atau batas maksimum nifas, atau lebih dari batasan normal bagi yang bersangkutan setiap bulannya, atau darah yang keluar pada waktu wanita hamil adalah darah istihadah.

    Istihadah tidak berpengaruh terhadap tanggungan hukum syariat seperti shalat, puasa haji, iktikaf, tawaf, masuk masjid, membaca alquran bersetubuh. Menurut Syafiiyah bahwa wanita yang mengeluarkan darah isthadah hanya wajib berwudu tiap kali akan menjalankan shalat. Ia juga diperbolehkan ikut shalat janazah, atau shalat sunnah lainya. Hendaknya ia segera melaksanakan shalat setelah berwudu, terkecuali karena kebutuhan seperti menutup aurat, mendengar adzan dan iqamah, menanti waktu shalat jamaah, berijtihad dalam mencari arah qiblat, pergi ke masjid dll.


    golongan perempuan yang kurang layak jadi istri

    Ladies, inginkah Anda menjadi seorang istri yang shalehah dan nurut kepada suami?? Berikut Ladies beberapa hal yang harus Anda hindari jika ingin menjadi istri yang shalehah dan nurut epada suami :

    1. Al -Anaanah:
    banyak keluh kesah. Yang selalu merasa tak cukup, apa yang diberi semua tak cukup. diberi rumah tak cukup, diberi motor tak cukup, diberi mobil tak cukup, dll. Asyik ingin memenuhi kehendak nafsu dia saja, tanpa memperhatikan perasaan suami, tak hormat kepada suami apalagi berterima kasih pada suami. apa yang suami beri pun tak pernah puas. Ada saja yg tak cukup.

    2. Al-Manaanah:
    suka mengungkit. Kalau suami melakukan hal yang dia tak berkenan maka diungkitlah segala hal tentang suaminya itu. sangat senang membicarakan suami: tak ingat budi, tak bertanggungjawab, tak sayang, dll. Padahal suami sudah memberi perlindungan macam2 padanya.

    3. Al -Hunaana:
    ingin pada suami yang lain atau berkenan kepada lelaki yang lain. sangat suka membanding-bandingkan suaminya dengan suami/lelaki lain. Tak redha dengan suami yang ada.

    4. Al- Hudaaqah:
    suka memaksa. Bila hendak sesuatu maka dipaksa suaminya melakukan. Pagi, petang malam asyik menekan dan memaksa suami. Adakalanya dengan berbagai ancaman: ingin lari, ingin bunuh diri, ingin membuat malu suami, dll. Suami dibuat seperti budaknya, bukan sebagai pemimpinnya. Yang dipentingkan adalah kehendak dan kepentingan dia saja.

    5. Al -Hulaaqa:
    sibuk bersolek atau tidur atau santai2 dll hingga lalai dengan ibadah-ibadah asas, seperti solat berjemaah, wirid zikir, mengurus rumah-tangga, berkasih sayang dengan anak-anak, dll.

    6. As-Salaaqah:
    banyak berbicara, menggosip. Siang malam, pagi petang asik menggosip terus. Apa saja yang suami kerjakan selalu tidak benar dimatanya. Zaman sekarang ini bergosip bukan saja berbicara di depan suami, tapi dengan telfon, SMS, internet, BBM dan macam-macam


    Macam-macam shalat puasa

    Bulan Rajab merupakan salah satu bulan Muharram yang artinya dimulyakan.
    Ada 4 bulan yang dimuliakan, yaitu:
    Dzulqa’dah,
    Dzulhijjah,
    Muharram, dan
    Rajab


    romadhon
    senin kamis
    awal bulan
    tengah bulan
    akhit bulan
    nazar
    puasa tahunan (ngeruet)
    puasa ngebleng
    puada daud
    puasa mutih


    Istri sholekhah

    Mari hayati pesanan isteri ‘Auf bin Muhlim Ashaibani kepada puterinya ketika hendak bernikah dengan al Haris bin Amr, raja negeri Kandah. Sewaktu utusan diraja hendak membawa pengantin untuk disampaikan kepada raja, ibunya berwasiat kepada anak perempuannya:

    “Wahai anakku! Kalaulah wasiat ini untuk kesempurnaan adabmu, aku percaya kau telah mewarisi segala-galanya, tetapi ia sebagai peringatan untuk yang lalai dan pedoman kepada yang berakal.

    Andai kata wanita tidak memerlukan suami kerana berasa cukup dengan kedua ibu bapanya, tentu ibumu adalah orang yang paling berasa cukup tanpa suami. Tetapi wanita diciptakan untuk lelaki dan lelaki diciptakan untuk mereka.

    Wahai puteriku, Sesungguhnya engkau akan meninggalkan rumah tempat kamu dilahirkan dan kehidupan yang telah membesarkanmu untuk berpindah kepada seorang lelaki yang belum kamu kenal dan teman hidup yang baru. Kerana itu, jadilah 'budak' wanita baginya, tentu dia juga akan menjadi 'budak' bagimu serta menjadi pendampingmu yang setia.

    Peliharalah sepuluh sifat ini terhadapnya, tentu ia akan menjadi perbendaharaan yang baik untukmu.

    Pertama dan kedua, berkhidmat dengan rasa puas serta taat dengan baik kepadanya.

    Ketiga dan keempat, memerhatikan tempat pandangan matanya dan bau yang diciumnya. Jangan sampai matanya memandang yang buruk daripadamu dan jangan sampai dia mencium kecuali yang harum daripadamu.

    Kelima dan keenam
    , memerhatikan waktu tidur dan waktu makannya, kerana lapar yang berlarutan dan tidur yang terganggu dapat menimbulkan rasa marah.

    Ketujuh dan kedelapan
    , menjaga hartanya dan memelihara kehormatan serta keluarganya. Perkara pokok dalam masalah harta adalah membuat anggaran dan perkara pokok dalam keluarga adalah pengurusan yang baik.

    Kesembilan dan kesepuluh,
    jangan membangkang perintahnya dan jangan membuka rahsianya. Apabila kamu tidak mentaati perintahnya, bererti kamu melukai hatinya. Apabila kamu membuka rahsianya kamu tidak akan aman daripada pengkhianatannya.

    Kemudian janganlah kamu bergembira di hadapannya ketika dia bersedih atau bersedih di hadapannya ketika dia bergembira. Jadilah kamu orang yang sangat menghormatinya, tentu dia akan sangat memuliakanmu.

    Jadilah kamu orang yang selalu sepakat dengannya, tentu dia akan sangat belas kasihan dan sayang kepadamu.

    Ketahuilah, sesungguhnya kamu tidak akan dapat apa yang kamu inginkan sehingga kamu mendahulukan keredaannya daripada keredaanmu, dan mendahulukan kesenangannya daripada kesenanganmu, baik dalam hal yang kamu sukai atau yang kamu benci dan Allah akan memberkatimu.”

    Nasihat di atas seharusnya diterima dengan beberapa asas penting:

    • Suami yang dicari adalah suami yang beriman lagi taat kepada perintah Allah.
    • Ketaatan kepada suami adalah wajib dengan syarat beliau tidak melakukan perkara yang bertentangan dengan syariat Allah.
    • Begitulah hukum Allah, di sana sentiasa ada ‘dua bahagian muka syiling’. Kalau diperhati setiap nasihat di atas, perbuatan kita yang positif akan menghasilkan reaksi dan tindak balas positif juga dengan izin Allah.
    Saya sering mengingatkan diri sendiri dan semua bahawa kita dari muda hingga sekarang dan masih sangat mempercayai bahwa: "Kita hanya boleh mengubah diri sendiri. Percayalah apabila kita berubah, persekitaran dan orang di sekeliling juga akan berubah secara positif.